Jumat, 23 Maret 2012
Rabu, 21 Maret 2012
http://qurandansunnah.wordpress.com/
http://qurandansunnah.wordpress.com/
Selasa, 20 Maret 2012
Liang kubur, awal perjalanan kita di Akhirat…
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أمابعدKhalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.
Suatu hari ada seorang yang bertanya:
“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)
Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur?
Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:
Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.
Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’
Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.
Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.
Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.
Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:
“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:
“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.
Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad(XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)
Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.
Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:
- Ikhlas
- Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.”(HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, aamiin.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)
Minggu, 11 Maret 2012
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah landasan tempat berdirinya Islam secara keseluruhan. Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam Islam atau untuk Islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki. Ini dikarenakan dalam kondisi seperti itu, orang tersebut kehilangan ruh-nya. Ma’rifat bukanlah mengenali dzat Allah karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifat yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifat (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’rifatullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah jika ia telah mengenali asma’ Allah, sifat Allah, dan af’al (perbuatan) Allah yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini. Bekal pengetahuan ini ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari seperti: sikap sidq (benar) dalam bermuamalah dengan Allah, ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah, pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah subhanahuwata’ala, sabar dan menerima pemberlakuan hukum dan aturan Allah atas diirnya, berdakwah dan mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya, membersihkan dakwahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektivitas siapapun dan hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliaulah orang yang paling utama dalam mengenali Allah subhanahuwata’ala. Beliau bersabda:
“Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. H.R Al Bukhari dan Muslim.
Hadist ini ini Beliau ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diir kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya setelah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yaitu ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Q.S Fathir :28)
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada disana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama mengatakan:”Dduuk disisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu: dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunis menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’, dari buruk hati menjadi nasehat.”
Ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu: tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat (sering disebut tauhid al ma’rifat wa al itsbat), dan tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.
Urgensi Ma’rifatullah
1. Allah adalah Tuhan semesta alam
“Katakanlah(Muhammad) ‘ siapakah Tuhan langit dan bumi?’ Katakanlah ‘Allah’. Katakanlah, ‘pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?’ katakanlah ,’samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat?’ atau samakah yang gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’ katakanlah ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa”. (QS Ar-Ra’d :16)
2. Mengetahui tujuan hidup
Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karen ama’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak).
“Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyaat:56)
3. Merasakan kehidupan yang tenang dan lapang
Ma’rifatullah juga merupakan asas (landasan) perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
“Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur.” (HR Muslim)
4. Selain itu, dari ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk memelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para nabi dan rasul lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah. Dari ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti malaikat, jin, dan ruh.
5. Dari ma’rifat inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzaniyyah (alam kubur) dan kehidupan akhirat.
Sarana ma’rifatullah
1. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Allah berfirman:
”Perhatikanlah apa yang ada dibumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus:101)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:”Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karenakamu tidak akan mampu.” (HR Abu Nu’aim)
2. Para Rasul
Para rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Kamitelah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya menausi dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al Hadid:25)
3. Asmaul Husna dan Sifat Allah
Mengenalli asma dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk mengenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk dapat mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Allah berfirman:
“Katakanlah: serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik).” (QS Al-Isra:110).
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS Al-A’raf:180)
4. Fenomena Alam (Alam semesta)
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) dilangit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.” (QS. Yusuf:105)
5. Al-Qur’an
“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabut:49)
6. Mu’jizat
“Dan rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu” (QS. Ali Imran:101)
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu benda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata:’ (Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (QS. Al-Qamar:1-2)
Faktor Penghalang Ma’rifatullah
1. Menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsilmengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.
2. Menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allahta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!
3. Menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?!
Membebaskan diri untuk Menuju Ma’rifatullah
1. Bebaskan Diri dari Kesombongan
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat KAmi dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raaf: 146)
2. Bebaskna Diri dari Kedzaliman dan Dusta
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Ash-Shaf:7)
“sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS Az-Zumar:3)
3. Bebaskan Diri dari Tindakan Merusak di Muka Bumi, Melanggar Perjanjian dan Memutuskan Hubungan yang Seharusnya Disambung
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Baqarah:26-27)
4. Bebaskan Diri dari Kelalaian
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS Muhammad:36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang –orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:190-191)
5. Bebaskan Diri dari Perbuatan Dosa
“Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) kedalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir), mereka tidak beriman kepadanya (Alquran) dan sesungguhnya telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Hijr:12-13)
6. Bebaskan Diri dari Keraguan dalam Menerima Kebenaran , Saat Melihatnya dengan Amat Jelas
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Alquran) pada permulaannya, dan Kami biarkanmereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Qs. Al-An’am:110)
Pandangan orang-Orang Kafir Terhadap Jalan Ini
Banyak orang baik pada masa lalu maupun pada masa kini, yang mengingkari wujud Allah, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat merasakan keberadaan-Nya dengan indera mereka. Mereka berpendapat bahwa jalan untuk mengetahui segala sesuatu adalah indera itu. Karena itu, mereka menuduh orang yang beriman kepada Allah sebagai pengkhayal, sesat, pembuat klenik, sakit jiwa, tidak ilmiah, dan tuduh-tuduhan lainnya yang dialamatkan oleh orang-orang kafir terhadap kaum beriman. Dengan alasan, orang-orang yang beriman itu mengimani wujud Allah bukan dengan jalan inderawi.
Mereka yang berkata bahwa mereka hanya mengimani apa yang dapat ditangkap oleh indera mereka, terbantah sendiri oleh realitas material tempat mereka hidup. Misalnya, mereka mengimani adanya kekuatan gravitasi dan hukumnya meskipun mereka tidak melihat keberadaannya secara inderawi. Mereka mengimani keberadaan rasio meskipun mereka tidak dapat melihat wujudnya.
Sabtu, 10 Maret 2012
Aqiqah
Aqiqah
Pengertian Aqiqah
Dalil Tentang Aqiqah
- Menurut Imam Ahmad (juga Al-Khatabi dan Ibnu Al-Qayyim) maksud dari kata-kata Anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya ialah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan jika ibu bapaknya tidak melaksanakan aqiqah baginya.
- Ibnu Al-Qayyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan bayi yang bersangkutan dari godaan setan.
- Jumlah hewan aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor, sedangkan untuk anak perempuan seekor.
- Tentang kapan sebaiknya aqiqah dilakukan ialah saat bayi berumur 7 hari. Namun jika hal itu tidak mampu dilaksanakan, maka boleh menundanya hingga bayi berumur 14 hari. Jika masih belum mampu juga, boleh dilakukan saat bayi sudah berumur 21 hari.
Hukum Aqiqah
Hewan untuk Aqiqah
- Tidak cacat.
- Tidak berpenyakit.
- Cukup umur, yaitu kira-kira berumur satu tahun.
- Warna bulu sebaiknya memilih yang berwarna putih.
Rangkaian Kegiatan Aqiqah
- Diawali dengan membaca basmallah.
- Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri.
- Dicukur secara keseluruhan (gundul) sehingga tidak ada kotoran yang tersisa.
- Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan dinilai dengan nilai emas atau perak kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.
Hikmah Aqiqah
- Aqiqah merupakan suatu pengorbanan yang akan mendekatkan anak kepada Allah di masa awal ia menghirup udara kehidupan.
- Aqiqah merupakan tebusan bagi anak dari berbagai musibah, sebagaimana Allah telah menebus Ismail a.s. dengan sembelihan yang besar.
- Sebagai pembayaran hutang anak agar kelak di hari kiamat ia bisa memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.
- Merupakan media untuk menunjukkan rasa syukur atas keberhasilan melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya generasi mukmin.
- Mempererat tali persaudaraan di antara sesama anggota masyarakat. Dalam hal ini aqiqah bisa menjadi semacam wahana bagi berlangsungnya komunikasi dan interaksi sosial yang sehat.
Bacaan shalat
DOA IFTITAH
![]() |
![]() |
Minggu, 04 Maret 2012
Cinta Syahadah: Kontorversi Perintah Shalat Pasca Isra' Mi'raj Nab...
rhodhiitu billaahirobbaa...

illaahii anta maqshudhii
Manakala seorang hamba Allah di uji Allah, maka mula-mula ia akan melepaskan dirinya dari ujian atau cobaan yang menyusahkannya itu. Jika tidak berhasil, maka ia akan meminta pertolongan kepada orang-orang lain seperti para raja, para penguasa, orang-orang dunia atau para hartawan. Jika ia sakit, maka ia akan meminta pertolongan kepada dokter atau dukun. Jika hal ini pun tidak berhasil, maka ia kembali menghadapkan wajahnya kepada Allah SWT, untuk memohon dan meratap kepada-Nya. Selagi ia dapat menolong dirinya, ia tidak akan meminta pertolongan kepada orang lain. Dan selagi pertolongan lain masih ia dapatkan, maka ia tidak akan meminta pertolongan kepada Allah.
Jika ia tidak mendapatkan pertolongan Allah, maka ia akan terus meratap, shalat, berdoa menyerahkan dirinya dengan sepenuh harapan dan kecemasan terhadap Allah Ta`ala. Sekali-kali Allah tidak akan menerima ratapannya, sebelum ia memutuskan dirinya dari keduniaan. Setelah ia terlepas dari hal-hal keduniaan, maka akan tampaklah ketentuan dan keputusan Allah pada orang itu dan lepaslah ia dari hal-hal keduniaan, selanjutnya hanya ruh sajalah yang tinggal padanya.
Dalam peringkat ini, yang tampak olehnya hanyalah kerja atau perbuatan Allah dan tertanamlah di hatinya kepercayaan yang sesungguhnya tentang Tauhid. Pada hakekatnya, tidak ada pelaku atau penggerak atau yang mendiamkan, kecuali Allah saja. Tidak ada kebaikan dan tidak ada keburukan, tidak ada kerugian dan tidak ada keuntungan, tidak ada faedah dan tidak pula anugerah, tidak terbuka dan tidak tertutup, tidak mati dan tidak hidup, tidak kaya dan tidak pula papa, melainkan semuanya ada di tangan Allah.
Hamba Allah itu tidak ubahnya seperti bayi yang berada di pangkuan ibunya atau seperti orang mati yang sedang di mandikan atau seperti bola di kaki pemain; melambung, bergulir ke atas ke tepi dan ke tengah, senantiasa berubah tempat dan kedudukan. Ia tidak mempunyai daya dan upaya. Maka hilanglah ia keluar dari dirinya dan masuk ke dalam perbuatan Allah semata-mata.