Rabu, 31 Oktober 2012
Minggu, 30 September 2012
muhasabah...
Bahan Renungan bagi Hati Nurani dan Tafakkur Diri
Posted in Mengaji Diri...Tentang Hati Nurani at 7:07 pm by
kuswandani
Berikut ini
saya kutip langsung sebuah nasihat agung dari sang Waliyullah, Ibnu Athaillah
al-Iskandari, yang mengajak kita semua untuk merenungi dan mentafakkuri
keindahan anugerah Allah bernama qalb atau hati bagi seorang Mukmin:
“Hati ibarat
sebuah pohon, bila disiram dengan air ketaatan buahnya akan tampak jelas. Mata
akan membuah kan penjagaan. Telinga akan membuahkan perhatian terhadap Alquran
dan pengetahuan. Lidah akan membuahkan zikir dan ucapan yang baik. Kedua tangan
dan kaki akan membuahkan amal-amal kebajikan, taat, serta sikap mau membantu
orang. Sementara bila hati kering, buahnya akan rontok dan manfaatnya akan
hilang.
Oleh karena
itu, kalau hati sudah kering, perbanyaklah berzikir. Kunjungilah majelis
orang-orang yang wara` dan bijak. Jangan seperti orang sakit yang berkata,
“Saya tak mau berobat. Nanti juga akan sembuh sendiri. Pasti lama kelamaan
sakitnya juga akan hilang.” Orang seperti ini harus dinasihati dengan
mengatakan, “Engkau baru bisa sembuh kalau mau berobat. Tak ada jaminan
penyakitnya akan hilang sebelum berusaha mencari sebab.”
Perjuangan
memang tidak manis. Ia disertai oleh ujung-ujung panah dan pertumpahan darah.
Berjuanglah melawan hawa nafsu agar ia mau taat. Itulah yang disebut dengan
jihad terbesar.
Hati ibarat
cermin, sedangkan hawa nafsu seperti asap atau uap. Setiap kali asap itu
menempel di cermin, cermin itu pun akan menghitam sehingga kejernihan dan
keindahannya akan pudar. Hati yang lemah tak ubahnya seperti cermin milik orang
tua renta yang sudah tak punya perhatian untuk membersihkannya. Ia abaikan
cermin itu dan tak pernah lagi ia pakai hingga wajahnya pun tak karuan.
Sebaliknya,
hati yang mengenal Allah seperti cermin milik pengantin wanita yang cantik.
Setiap hari ia bersihkan cermin tersebut dan ia pakai sehingga tetap bening dan
mengkilat.
Rasulullah
Saw bersabda, “Hati manusia lebih bergolak daripada kuali yang sedang mendidih
di atas api.” Betapa banyak orang mukmin yang hatinya kadang menyatu dengan
Allah tetapi sebentar kemudian berpisah. Betapa banyak ahli ibadah yang
menghabiskan malamnya dalam taat kepada Allah, tetapi ketika matahari
menyingsing ia tak ingat lagi pada-Nya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw berdoa,
“Yaa Muqalliba al-quluub wa al-abshaar, tsabbit qalbii ‘alaa diinika wa thaa`atika.”
Wahai Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku atas agamamu dan
ketaatan kepada-Mu.
Hati sama seperti mata. Bukan keseluruhan mata yang bisa melihat. Tetapi lensanya saja. Demikian pula dengan hati. Yang dimaksud adalah bukan dagingnya. Tetapi unsur halus yang Allah hunjamkan dalamnya. Unsur itulah yang bisa memahami. Sengaja Allah tempatkan hati bergantung di sisi bagian kiri seperti ember. Kalau dibebani oleh syahwat, ia akan bergerak dan kalau dibebani oleh lintasan takwa ia juga akan bergerak. Kadangkala lintasan hawa nafsu atau syahwat yang lebih dominan. Pada saat tertentu lintasan hawa nafsu dikalahkan oleh lintasan takwa sehingga hati pun memujimu. Tetapi, pada saat yang lain, lintasan takwa dikalahkan lintasan hawa nafsu sehingga hati pun mencelamu. Kedudukan hati seperti atap rumah. Bila engkau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke atap hingga membuatnya hitam.
Hati sama seperti mata. Bukan keseluruhan mata yang bisa melihat. Tetapi lensanya saja. Demikian pula dengan hati. Yang dimaksud adalah bukan dagingnya. Tetapi unsur halus yang Allah hunjamkan dalamnya. Unsur itulah yang bisa memahami. Sengaja Allah tempatkan hati bergantung di sisi bagian kiri seperti ember. Kalau dibebani oleh syahwat, ia akan bergerak dan kalau dibebani oleh lintasan takwa ia juga akan bergerak. Kadangkala lintasan hawa nafsu atau syahwat yang lebih dominan. Pada saat tertentu lintasan hawa nafsu dikalahkan oleh lintasan takwa sehingga hati pun memujimu. Tetapi, pada saat yang lain, lintasan takwa dikalahkan lintasan hawa nafsu sehingga hati pun mencelamu. Kedudukan hati seperti atap rumah. Bila engkau menyalakan api di dalam rumah, asapnya akan membumbung ke atap hingga membuatnya hitam.
Begitulah
api syahwat, kalau sedang berkobar di dalam tubuh, asap-asap dosanya akan naik
ke hati dan membuat hati tersbut hitam. Sehingga ia menjadi hijab yang
membungkus permukaannya. Jika engkau hendak membersihkan dan membuatnya kembali
bening, serta hendak mengangkat karat yang menempel padanya, engkau harus
melakukan empat hal:
1) Banyak berzikir dan membaca Alquran,
2) Selalu diam dan sedikit bicara,
3) Menyendiri untuk munajat kepada Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui,
4) Sedikit makan dan sedikit minum.
1) Banyak berzikir dan membaca Alquran,
2) Selalu diam dan sedikit bicara,
3) Menyendiri untuk munajat kepada Allah Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui,
4) Sedikit makan dan sedikit minum.
Sebaliknya
ada empat hal yang bisa mematikan hati:
1) Duduk bersama orang kaya,
2) Berbicara dengan wanita,
3) Jarang berzikir,
4) Banyak makan.
1) Duduk bersama orang kaya,
2) Berbicara dengan wanita,
3) Jarang berzikir,
4) Banyak makan.
Bila ingin
membersikah air, engkau harus menjauhkannya dari barang-barang kotor yang bisa
membuatnya najis. Sementara itu anggota badan manusia ibarat saluran air yang
mengalir menuju hati dan menumpahkan airnya di sana.
Oleh karena
itu, janganlah engkau menyiram hatimu dengan perbuatan hina seperti ghibah,
atau membincangkan orang lain, mengadu domba, berkata kotor, mendengar yang
terlarang, melihat kepada yang tidak halal, memakan yang haram, dan sejenisnya.
Hati tidak dikotori oleh yang keluar darinya. Tetapi, ia dikotori oleh yang
masuk ke dalamnya.
Hati baru bersinar dan bercahaya dengan memakan yang halal, selalu berzikir dan membaca Alquran disertai tadabbur, duduk bersama para ulama dan orang-orang mukmin, menjaga diri dari melihat sesuatu yang mubah, memelihara diri dari yang terlarang dan makruh, serta cemas terhadap segala maksiat.
Hati baru bersinar dan bercahaya dengan memakan yang halal, selalu berzikir dan membaca Alquran disertai tadabbur, duduk bersama para ulama dan orang-orang mukmin, menjaga diri dari melihat sesuatu yang mubah, memelihara diri dari yang terlarang dan makruh, serta cemas terhadap segala maksiat.
Peliharalah
cahaya hatimu wahai saudaraku. Janganlah engkau membuka tatapan mata kecuali
untuk menambah pengetahuan atau hikmah. Siapa yang ingin melihat kepada
berbagai hati, hendaknya ia melihat berbagai jenis rumah di daerahnya. Ada
rumah yang sudah rusak dan menjadi tempat kotoran sampah. Ada rumah yang rusak
dan menjadi tempat ular dan macan. Ada rumah yang tak bercahaya, gelap gulita.
Ada rumah yang menjadi tempat berkicaunya burung gagak dan burung hantu. Dan
ada pula rumah yang ramai oleh penghuninya, menyebarkan wewangian dan
bunga-bunga, serta disinari oleh kilauan bintang gemintang.
Lalu
perhatikan hatimu, termasuk yang manakah ia sehingga engkau benar-benar
mengetahui. Bila ketika shalat, membaca Alquran, berzikir, dan berkhalwat,
hatimu tidak hadir, tangisilah dirimu! Taburilah kepalamu dengan tanah, serta
berdoalah agar Allah memberi hati yang khusyu’. Ketahuilah bahwa orang yang
hatinya sedang sakit, karena maksiat dan nifak, ia takkan bisa memakai baju
ketakwaan. Bila hatimu terbebas dari segala penyakit hawa nafsu dan syahwat,
berarti engkau telah memperoleh takwa.
Dalam
Alquran, Allah menyebut syahwat sebagi penyakit. Dia berfirman,
“….. maka
orang yang di dalam hatinya ada penyakit pastilah menginginkan…” (QS 33: 32 )
Di lain tempat, Allah juga menyebut sifat nifak sebagai penyakit,
Di lain tempat, Allah juga menyebut sifat nifak sebagai penyakit,
“Di dalam
hati mereka terdapat penyakit, Allah pun menambah penyakit tersebut…” ( QS 2:
10 )
Untuk
mengobati hati yang sakit ada dua cara. Pertama, dengan mempergunakan sesuatu
yang bermanfaat, yaitu ketaatan. Kedua, dengan menghindari sesuatu yang
berbahaya, yaitu maksiat. Tak ubahnya seperti orang yang sedang sakit. Ia akan
meminum obat dan menghindarkan makanan tertentu sampai betul-betul sehat. Bila
engkau melakukan sebuah dosa, lalu kau ikuti ia dengan tobat dan penyesalan,
itu bisa menjadi sebab bagi tersambungnya hubunganmu dengan Allah. Namun, bila
engkau melakukan ketaatan seperti ibadah haji, lalu kau ikuti ia dengan rasa
ujub, bangga dan sombong, itu bisa menjadi sebab terputusnya hubunganmu dengan
Allah.
Sungguh
aneh, bagaimana engkau berdoa kepada Allah agar diberi kalbu yang baik,
sementara anggota badanmu melakukan dosa dan perbuatan terlarang. Jika
demikian, engkau seperti orang yang sedang meminum racun atau orang yang
menelan obat, tetapi ular dibiarkan menyengatnya.
Siapa yang
menyibukkan hatinya dengan Allah, kemudian ia melindunginya dari rongrongan
hawa nafsu dan syahwat, itu lebih baik dari orang yang banyak melakukan shalat
dan puasa, sedang hatinya sakit.
Allah
berfiman,
”Adapun orang-orang uang di dalam hatinya terdapat penyakit, mereka bertambah kufur di samping kekufuran mereka (sebelumnya)” ( QS 9 : 125 )
”Adapun orang-orang uang di dalam hatinya terdapat penyakit, mereka bertambah kufur di samping kekufuran mereka (sebelumnya)” ( QS 9 : 125 )
Orang yang
hatinya sibuk dengan dunia dan diisi kecintaan padanya sama seperti orang yang
membangun rumah bagus dengan kamar kecil di atas yang airnya menetes ke bawah.
Demikian kondisi itu terus berlangsung sehingga bangunan rumah itu dilumuri
oleh kotoran. Begitulah kondisimu di hadapan Allah. Hatimu berlumur maksiat.
Engkau memakan makanan haram, melihat yang haram, dan menyembunyikan keburukan,
tetapi anehnya engkau masih merasa sebagai hamba yang shalih.
Siapa yang
melakukan perbuatan haram dan mengerjakan maksiat, hatinya menjadi gelap dan
mata batinnya menjadi redup. Oleh karena itu, segeralah menyucikan dan
membersihkan hatimu dengan bertobat, berzikir, menyesal, dan memohon ampunan.
Bila engkau belum bertobat di saat sehat, bisa jadi Allah akan mengujimu dengan
penyakit dan musibah agar engkau bisa keluar dari dunia dalam keadaan bersih
dari dosa seperti pakaian yang dicuci dengan air.
Bertobatlah
dan beristighfarlah selalu agar hatimu sibuk dengan zikir hingga engkau
dilumuri cahaya. Jangan sekali-kali berbuat seperti penggali sumur yang mencari
air. Ia menggali di sini dengan dalam sehasta, kemudaian menggali di tempat
lain dengan dalam sehasta pula. Dengan begitu, ia takkan dapat menemukan air.
Mestinya ia menggali di satu titik saja dengan sungguh-sungguh hingga air
ditemukan. Ketahuilah bahwa hati ini menjadi rusak karena kurangnya rasa takut
dan tiadanya rasa khusyu’ terhadap Allah.
Hati yang
hidup adalah hati yang tak pernah terlalaikan dari Allah, entah oleh sesuatu
yang buruk maupun yang baik. Bila ingin mengobati hatimu dari keburukan dan
kelalaian, jauhilah sesuatu yang syubhat, keluarlah menuju padang tobat,
pakailah baju penyesalan, angkat panji kehinaan, tinggalkan tempat tidur,
ubahlah kondisimu dari jauh kepada Allah dengan mendekati-Nya dan dari
permainan dengan kesungguhan, berilah makan fakir miskin, biasakan hatimu untuk
mengasihi dan mencinta, perbanyak menangis, dan teruslah berdoa karena harap
dan cemas, dengan begitu mudah-mudahan engkau sembuh.
Namun
sayangnya, engkau lebih memperhatikan makan, mencari yang ternikmat, mengisi
perut dengannya, serta berbangga dengan yang indah dan gemuk. Engkau tak
ubahnya seperti domba yang sengaja dibuat gemuk untuk disembelih dan dimakan.
Bukankah engkau pun telah menyembelih diri sendiri secara tak sadar?
Cahaya
adalah tunggangan hati. Ia merupakan tentaranya sebagaimana kegelapan merupakan
tentara hawa nafsu. Bila Allah ingin menoling hamba-Nya dalam melawan syahwat,
Dia akan menyokongnya dengan tentara cahaya sekaligus melenyapkan kegelapan
darinya.
Cahaya
bertugas menyingkap, bashiirah (mata hati) memutuskan, serta hati mendatangi
atau menolak. Adapun manusia, aspek lahiriyahnya berkilau, namun aspek batinnya
yang sebenarnya menjadi substansi perhatian. Hawa nafsu hanya melihat pada
aspek lahiriyah, sementara hati melihat pada substansi batiniahnya.
Wahai hamba
Allah, agama merupakan modal hidupmu di dunia. Bila engkau kehilangan modal
tersebut, sibukkan lisanmu dengan menyebut asma-Nya, sibukkan hatimu dengan
mencintai-Nya, dan anggota badanmu dengan mengabdikan diri pada-Nya. Selain
itu, bersikaplah rendah hati, temui para ulama yang mengamalkan ilmunya, sampai
benih datang, turun hujan, dan ia pun tumbuh.
Siapa yang
memperlakukan hatinya seperti petani memperlakukan tanahnya, hatinya akan bersinar
dengan cahaya iman dan hikmah.
………………
Gusti, makin
terpuruk hamba,
makin malu
hamba, sekiranya diri tidak lagi mampu merenungi jutaan hikmah
agung ini…
Minggu, 08 April 2012
Dalil-dalil Wajibnya Memanjangkan Jenggot dan Memotong Kumis
Segala
puji bagi Allah saja, shalawat dan salam tetap tercurah pada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang tidak ada Nabi lagi
setelahnya.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya dan juga selain mereka :
Dari Nafi’ dan Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, yaitu banyakkanlah jenggotmu dan pangkaslah kumismu.”
Diriwayatkan juga oleh keduanya dari Abdullah bin Umar radliyallahu ‘anhuma : “Pangkaslah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian tumbuh.” Dalam suatu riwayat lain : “Cukurlah kumis kalian dan biarkan tumbuh jenggot kalian.”
﴿ ﺍﻟﻠøöﺤóﻰ ﴾ adalah nama rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu.
Berkata Ibnu Hajar :
﴿ ﻭﻓﺮﻭﺍ ﴾ dengan tasydid di fak-nya : ﴿ ﻭóﻓøöﺮõﻭúﺍ ﴾
Berasal dari ﴿ ﺍﻟﺘøﻮúﻓöﻴúﺮõ ﴾ : Yaitu membiarkan, maksudnya biarkanlah banyak.
Dan ﴿ ﺇöﻋúﻔóﺎﺀõ ﺍﻟﻠøöﺤóﻰ ﴾ : Yaitu biarkanlah sebagaimana adanya.
Adapun perintah untuk menyelisihi orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh hadits dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu :
“Sesungguhnya
orang musyrik itu, mereka membiarkan kumis mereka tumbuh dan mencukur
jenggot mereka. Maka bedakanlah dengan mereka yaitu biarkanlah jenggot
kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian.” (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang hasan)
Dari Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Muslim :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bedakanlah
kalian dengan orang-orang Majusi, karena sesungguhnya mereka
(orang-orang Majusi) memendekkan jenggot dan memanjangkan kumisnya.”
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menyebutkan tentang orang-orang Majusi. Beliau bersabda : “Sesungguhnya mereka memanjangkan kumis dan mencukur jenggot maka bedakanlah kalian dengan mereka.” Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) menampakkan pemotongan kumisnya kepadaku (Ibnu Umar).
Dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Termasuk
fitrah Islam, memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.
Sesungguhnya orang-orang Majusi membiarkan kumisnya dan mencukur
jenggotnya. Maka bedakanlah dengan mereka, yaitu pangkaslah kumis kalian
dan biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
Di
dalam Shahih Muslim dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda :
“Kami diperintah untuk memangkas kumis dan membiarkan tumbuh jenggot.”
Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Potonglah kumis kalian dan panjangkanlah/biarkanlah jenggot kalian.”
Makna ﴿ ﺟóﺰøõﻭúﺍ ﴾ dan ﴿ ﻗóﺼøõﻮúﺍ ﴾ adalah potonglah.
Dan makna ﴿ ﺃóﺭúﺧõﻮﺍ ﴾ dan ﴿ ﻃóÜﻴøﻠõﻮúﺍ ﴾ adalah panjangkanlah atau diartikan juga, biarkanlah.
Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan lafadh ﴿ pangkaslah = ﻗóﺼøõﻮúﺍ ﴾, maka :
Tidak meniadakan ﴿ mencukur = ﺍúﻹöﺣúﻔóﺎﺀõ ﴾.
Karena sesungguhnya riwayat ﴿ ﺍúﻹöﺣúﻔóﺎﺀõ ﴾ ada di dalam Bukhari-Muslim dan sama maksudnya.
Dalam suatu riwayat : “Biarkanlah/banyakkanlah jenggot kalian.”
Maksudnya : “Biarkanlah jenggot kalian penuh.”
Hukum Memotong, Mencabut, Atau Mencukur Jengot
-Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Diharamkan mencukur jenggot.”
-Berkata Al Qurthubi rahimahullah : “Tidak boleh memotong, mencabut, dan mencukurnya.”
-Abu
Muhammad Ibnu Hazm menceritakan bahwa menurut ijma’, menggunting kumis
dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardlu dengan dalil hadits Ibnu
Umar radliyallahu ‘anhu :
“Bedakanlah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
-Dan dengan hadits Zaid bin Arqam secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) :
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya maka bukan termasuk golongan kami.” (Dishahihkan oleh At Tirmidzi)
-Dengan
dalil yang lain, Tirmidzi berkata di dalam Al Furu’ : “Bentuk kalimat
ini menurut shahabat kami (yang sepakat dengan Tirmidzi) menunjukkan
keharaman.” Dan berkata pula dalam Al Iqna’ : “Haram mencukur jenggot.”
-Diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Barangsiapa membikin seperti rambut maka tidak ada baginya di sisi Allah bagian.”
Berkata Zamakhsyari : “Maknanya
membikin rambut seperti yang asli (rambut palsu, ed.), yaitu dengan
mencabutnya atau mencukurnya dari kedua pipi atau merubahnya dengan
menghitamkan.”
Berkata pula Zamakhsyari dalam An Nihayah : Yaitu mencukurnya dari kedua pipi dan dikatakan mencabutnya atau merubahnya dengan hitam.
Larangan Dan Bahaya Menyerupai Orang Kafir
Imam
Ahmad telah meriwayatkan dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, dia
berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Biarkanlah jenggot kalian tumbuh dan cukurlah kumis kalian dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashara.”
-Al Bazzar telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma secara marfu’ : “Janganlah kalian menyerupai orang-orang Ajam, biarkanlah tumbuh jenggot kalian.”
-Abu
Daud meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu dia berkata : Telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Barangsiapa menyerupai dengan suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
-Dan
riwayat Abu Daud dari Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda : “Bukanlah termasuk golongan kami barangsiapa yang
menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi
dan nashara.”
-Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Maka bedakanlah diri dengan mereka (yahudi dan nashara)! Adalah perintah yang dikehendaki oleh pembuat syariat (Allah).”
Penyerupaan
pada dhahir akan berpengaruh/menimbulkan kasih, cinta, dan kesetiaan
dalam batin sebagaimana kecintaan dalam batin akan
berpengaruh/menimbulkan penyerupaan dalam dhahir dan ini adalah masalah
yang nyata, baik secara perasaan atau dalam praktik nyata.
Penyerupaan
dengan mereka pada perkara yang tidak disyariatkan bisa jadi sampai
pada pengharaman atau termasuk dosa dari dosa-dosa besar (Al Kabair) dan
terjadinya kekafiran sesuai dengan dalil syar’iyyah.
Sungguh
Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ telah menunjukkan perintah untuk
menyelisihi orang-orang kafir dan melarang menyerupai mereka secara
keseluruhan.
Suatu
perkara yang diduga sebagai tempat terjadinya kerusakan yang
terselubung (dimana hal tersebut) tidak ditegaskan (oleh syar’i) berarti
ketetapan hukumnya dikaitkan pada perkara di atas dan dalil tentang
pengharamannya telah mengena (tidak terlepas) dari masalah tersebut.
Maka menyerupai mereka dalam bentuk dhahir merupakan penyebab
penyerupaan dalam akhlak, perbuatan-perbuatan yang tercela, bahkan
sampai pada i’tiqad (keyakinan). Sedang pengaruh dari yang demikian itu
tidak ditegaskan (oleh syar’i). Dan kerusakan itu sendiri –yang
dihasilkan dari sikap penyerupaan– terkadang hal tersebut tidak nampak
dan terkadang sulit (untuk dihindari) atau tidak mudah untuk
dihilangkan. Maka segala sesuatu yang menyebabkan pada kerusakan
(fasaad), pembuat syariat (Allah ‘Azza wa Jalla) mengharamkannya.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu :
“Barangsiapa yang menyerupai mereka sampai meninggal (mati) dia akan dibangkitkan bersama mereka.”
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukanlah
termasuk golongan kami barangsiapa yang menyerupai selain kami,
janganlah kalian menyerupai orang-orang yahudi dan nashrani.
Sesungguhnya cara salamnya orang-orang yahudi dengan isyarat jari-jemari
dan cara salamnya orang-orang nashrani dengan telapak tangan.”
Ada tambahan dari sisi Thabrani :
“Janganlah
kalian mencukur jambul (rambut yang tumbuh di kepala bagian depan),
pangkaslah kumis kalian, dan biarkanlah jenggot kalian tumbuh.”
Umar
radliyallahu ‘anhu memberi syarat (tanda) atas orang-orang kafir
dzimmah supaya mencukur rambut yang tumbuh di kepala bagian depan untuk
membedakan mereka dengan orang-orang Muslim. Maka barangsiapa
mengerjakan yang demikian itu, sungguh telah menyerupai mereka.
Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan :
“Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang dari Al Qazu’, yaitu
mencukur rambut di kepala sebagian dan meninggalkannya sebagian.”
Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu :
“Tentang (mencukur rambut) kepala, cukurlah keseluruhan atau tinggalkanlah.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)
Mencukur
rambut pada bagian belakang dari kepala (tengkuk) tidak boleh bagi
orang yang tidak mencukur rambutnya keseluruhan dan tidak ada suatu
kepentingan dengan mencukurnya itu. Karena yang demikian itu termasuk
perbuatan orang-orang majusi. Dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum
maka dia termasuk golongan mereka.
Telah meriwayatkan Ibnu ‘Assakir dari Umar radliyallahu ‘anhu :
“Mencukur rambut pada bagian belakang kepala (tengkuk) bukan karena berbekam adalah perbuatan majusi.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah untuk mengikuti hawa nafsu mereka. Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah : 77)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Dan
sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu
kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang
yang dhalim.” (QS. Al Baqarah : 145)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : “Mengikuti
mereka pada perkara yang mereka khususkan dari agama mereka. Dan
mengikuti agama mereka berarti mengikuti hawa nasfu mereka.”
-Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan bahwasanya salah
seorang dari majusi datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, dia sungguh telah mencukur jenggotnya dan memanjangkan kumisnya.
Maka bertanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang
tersebut, apa yang menyebabkan berbuat demikian, dia menjawab : “Ini
agama kami.” Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam (adalah
jenggot beliau penuh dari sini sampai sini dan menunjuk tangannya pada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) : “Akan tetapi pada agama
kami, yaitu memangkas kumis dan membiarkan jenggot tumbuh.”
-Harits bin Abi Usamah telah mengeluarkan dari Yahya bin Katsir, dia berkata : Telah
datang seorang laki-laki ‘ajam ke masjid dan sungguh dia telah
memanjangkan kumisnya dan menggunting jenggotnya. Maka bersabda
(bertanya) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada orang tersebut :
“Apa yang membawa kamu (menyuruh kamu) atas ini?” Maka orang tersebut
menjawab : “Sesungguhnya rab (raja) saya yang memerintah saya dengan
ini.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan agar memanjangkan jenggot dan memangkas kumis saya.”
-Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zaid bin Habib kisahnya dua utusan kisra (kaisar), berkata Zaid bin Habib : Telah
masuk dua utusan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan sungguh keduanya telah mencukur jenggot dan memelihara
kumisnya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memandang dengan
benci kepada keduanya dan bersabda : “Celakalah kalian berdua. Siapakah
yang menyuruh kalian dengan ini.” Kedua orang tersebut menjawab : “Yang
memerintahkan kami adalah rab kami (yaitu kaisar).” aka bersabdalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Akan tetapi Rabbku
memerintahkan untuk memelihara jenggotku dan memotong kumisku.”
Muslim meriwayatkan dari Jarir radliyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam banyak rambut jenggotnya.”
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi dari Umar radliyallahu ‘anhu : “(Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam) itu tebal jenggotnya.” Dan dalam suatu riwayat : “Banyak jenggotnya.” Dan dalam riwayat lain : “Lebat jenggotnya.”
Dari
Anas radliyallahu ‘anhu : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, jenggotnya penuh dari sini sampai sini –menunjuk dengan
tangannya pada lebarnya–.”
Sebagian
ahli ilmu membolehkan (memberikan keringanan) dalam masalah mengambil
(memotong) jenggot yang lebih dari genggaman dengan dasar yang dilakukan
oleh Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu . Namun kebanyakan ulama membencinya
(mengambil yang lebih dari genggaman). Dan ini sudah jelas dengan
(keterangan) yang terdahulu.
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : “Yang terpilih yaitu membiarkan atas keadaannya, yakni tidak memendekkan sesuatu dari jenggot secara asal.”
Al Khatib telah mengeluarkan dari Abi Said radliyallahu ‘anhu bahwa : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Janganlah salah satu di antara kalian memotong dari panjang jenggotnya.”
Dalam kitab Ad Darul Mukhtar disebutkan : “Adapun
memotong dari jenggot itu bukan menggenggam sebagaimana yang dilakukan
oleh orang-orang Maghrib dan para banci dari kaum laki-laki, maka tidak
seorang pun yang membolehkannya.”
Pada Diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Ada Suri Tauladan Yang Baik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Hai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya). Dan janganlah kamu menjadi orang-orang
(munafik) yang berkata : “Kami mendengarkan.” Padahal mereka tidak
mendengarkan.” (QS. Al Anfal : 20-21)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin. Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
dia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Allah ‘Azza wa Jalla memperindah para laki-laki dengan jenggot. Dan diriwayatkan termasuk tasbihnya para Malaikat :
“Maha Suci (Allah) yang telah menghiasi orang laki-laki dengan jenggot.”
Dikatakan di dalam At Tamhid :
“Haram mencukur jenggot, tidaklah ada yang berbuat demikian (mencukur jenggot) kecuali banci dari (kalangan) laki-laki.”
Imam Nawawi rahimahullah dan yang lain berkata :
• Jenggot adalah perhiasan laki-laki dan merupakan kesempurnaan ciptaan.
•
Dengan jenggot, Allah membedakan antara laki-laki dan perempuan dan
termasuk tanda-tanda kesempurnaan, maka mencabut pada awal tumbuhnya
adalah menyerupai anak laki-laki yang belum tumbuh jenggotnya dan
merupakan kemungkaran yang besar.
•
Demikian juga mencukur, menggunting, atau menghilangkan dengan obat
penghilang rambut termasuk kemungkaran yang paling jelas dan kemaksiatan
yang tampak nyata, menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam serta terjerumus kepada perkara yang Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam melarangnya.
Telah
berkata dan bersaksi bahwa seorang laki-laki yang mencabut rambut di
bawah bibirnya di sisi Umar bin Abdul Aziz maka beliau menolak
persaksiannya. Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu dan Ibnu Abi Layla
(seorang qadli di Madinah) menolak persaksian semua orang yang mencabut
jenggotnya. Berkata Abu Syamah : “Sungguh telah terjadi pada suatu kaum
yang mereka itu mencukur jenggotnya dan kejadian ini lebih parah dari
apa-apa yang terdapat pada Majusi (yang mereka itu memendekkan jenggot
dan memanjangkan kumisnya) disebabkan mereka mencukur jenggotnya.”
Ini
pada jaman Abu Syamah rahimahullah, bagaimana seandainya jika beliau
melihat masa sekarang (dimana) lebih banyak orang yang melakukannya.
Apa yang menimpa mereka? Dilaknati Allah-lah mereka. Maka bagaimana mereka berpaling?
Allah
‘Azza wa Jalla memerintahkan mereka mencontoh Rasul-Nya sementara
mereka menyelisihinya dan mereka bermaksiat kepadanya. Mereka mencontoh
orang-orang Majusi dan orang-orang kafir. Allah ‘Azza wa Jalla
memerintahkan mereka agar taat kepada Rasul-Nya dan sungguh telah
bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Peliharalah jenggot.”
Sementara
mereka bermaksiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
mereka bermaksud dengan sengaja mencukur jenggotnya.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis,
mereka memanjangkannya, mereka melakukan yang sebaliknya. Mereka
bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla secara terang-terangan dengan
melakukan apa yang tidak tepat pada tempatnya.
Dan yang Allah ‘Azza wa Jalla memperindah dengannya adalah paling mulia dan indahnya sesuatu dari manusia.
“Maka
apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap pekerjaannya yang
buruk itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu syaithan)? Maka
sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki
siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Faathir : 8)
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari butanya hati, kotornya dosa-dosa, kehinaan dunia, dan siksa akhirat.
“Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah
orang-orang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun. Kalau
kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka tentulah Allah
menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka
dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga sedang mereka
memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (QS. Al Anfal : 22-23)
Dan dalam hal ini cukuplah bagi orang yang mempunyai hati dan mendengarkan serta dia dalam keadaan menyaksikan.
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk dan
barangsiapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang
pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi : 17)
(Dikutip
dari terjemah tulisan Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al ‘Ashimi,
edisi Indonesia Biarkan Jenggot Anda Tumbuh, penerbit Cahaya Tauhid
Press, Malang)
Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis : Abdurrahman Ibn Muhammad ibn Qoshim Al ‘Ashimi Judul: Barkan Jenggot Anda Tumbuh
** Janganlah Mengolok-olok Sunnah
Mengolok-olok
atau menjadikan Sunnah Nabi sebagai bahan tertawaan merupakan perbuatan
dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir.
Istihza’
(mengolok-olok) Sunnah Nabi berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah
perbuatan besar namun dinilai oleh sebagian orang sebagai suatu hal yang
biasa. Bahkan terkadang disebut lelucon yang menggelikan karena
dianggap perbuatan tersebut adalah main-main dan tidak serius sehingga
seolah-olah ketika melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung
jawab apa pun. Padahal perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat
berbahaya dalam segala keadaannya.
Terjadi
di zaman Nabi ketika beliau bersama kaum muslimin pergi menuju perang
Tabuk maka dalam sebuah majlis seseorang berkata: “Kami tidak melihat
ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan penakut seperti para pembaca
Qur’an kita itu (dia maksudkan para sahabat Nabi).” Maka seseorang
menanggapinya: “Kamu dusta, bahkan kamu adalah munafik. Saya benar-benar
akan sampaikan kepada Rasulullah.” Maka berita itu sampai kepada
Rasulullah dan turunlah ayat Al Qur’an kepada beliau. Abdullah bin Umar
mengatakan: “Saya melihat orang itu bergantung dengan tali unta
Rasulullah dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan: “Wahai
Rasulullah kami hanya main-main.” Namun Rasulullah terus mengatakan:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, Rasul-Nya kalian memperolok-olok?
Jangan kalian cari udzur, kalian telah kafir setelah iman kalian”
(At Taubah: 65-66) [Hasan, HR Ibnu Abi Hatim dan Ath Thabari dan
dihasankan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Shahihul Musnad min Asbabin
Nuzul, 108]
Mengomentari
masalah ini Asy Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan: “Para ulama
telah bersepakat atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu darinya,
maka barangsiapa yang mengolok-olok Allah atau kitab-Nya, atau
Rasul-Nya, atau agama-Nya, maka dia telah kafir walaupun main-main dan
tidak memaksudkan mengolok-oloknya secara ijma’ (kesepakatan para
ulama).” (Taisir Al ‘Azizil Hamid hal. 617)
Hal yang serupa ditegaskan oleh Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di katanya: “Barangsiapa
yang mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang
shahih atau melecehkannya atau merendahkannya maka dia telah kafir
terhadap Allah Yang Maha Besar.” (Taisir Al Karimir Rahman, 343)
Bahkan
Asy Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “Barangsiapa yang mengolok-olok
salah satu dari Sunnah berarti ia mengolok-olok semuanya, karena yang
terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas-red) bahwa mereka
mengolok-olok Rasul dan para sahabatnya sehingga turunlah ayat ini.
Kalau begitu mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid,
39)
Lalu bagaimana kalau mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu apakah termasuk dalam hukum ini?
Asy
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjelaskan masalah ini, katanya: “Yang
benar dalam masalah ini adalah dirinci masalahnya. Kalau mengolok-olok
ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya maka yang demikian
merupakan kemurtadan, tidak ada keraguan dalam masalah itu karena itu
adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Allah besarkan
dan mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya. Adapun
mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain seperti pakaian atau
ambisinya terhadap dunia atau kebiasaannya yang tidak sesuai dengan
kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat atau sebab
yang serupa dengan itu maka yang semacam ini tidak sampai murtad karena
perbuatannya ini tidak kembali kepada agama tapi kembali kepada perkara
lain.” (footnote Asy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap Fathul Majid
hal. 526)
Semestinya
ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai
dengan Sunnah Nabi jangan sampai kita mengolok-olok atau menghina,
merendahkan, mengejek atau menjadikannya bahan tertawaan atau
semacamnya. Walaupun Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau
kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya.
Mestinya kita mendukung dan meminta ampun kepada Allah karena belum bisa
melaksanakannya, bukan malah mengejek.
Semoga Allah selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang Ia ridhai dan cintai.
Ukuran Hidayah
Karena
begitu bahayanya mencela Sunnah Nabi maka para ulama menjadikan ukuran
hidayah dengan istiqamahnya seseorang di atas As Sunnah. Sebaliknya
mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu
diragukan keistiqamahannya di atas hidayah.
Al Imam Al Barbahari mengatakan: “Jika
kamu dengar seseorang mencacat As Sunnah atau menolak As Sunnah atau
mencari selain As Sunnah, maka tuduhlah dia pada keislamannya dan jangan
kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, 51, Ta’dhimus Sunah, 29)
Abul Qasim Al Ashbahani mengatakan: “Ahlus Sunnah dari kalangan Salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencacat As Sunnah maka semestinya ia dituduh pada keislamannya.” (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah hal. 29).
Ayyub As Sikhtiyani berkata: “Jika
kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan:
‘Tinggalkan kami dari yang ini dan beri tahu kami dengan Al Qur’an’,
maka ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, 137)
Orang
yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat
berbahaya sehingga Imam Ahmad mengatakan: “Barangsiapa yang menolak
hadits Nabi maka dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Tabaqat Al
Hanabilah, 2/15, Ta’dhimus Sunnah, 29). Wallahu a’lam.
Dikutip dari ttp://www.asysyariah.com, Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc, Judul asli: Hukum mengolok-olok sunnah Nabi
Jumat, 23 Maret 2012
ILMU FIQIH | Majelis Dzikrul Musthofa
Rabu, 21 Maret 2012
http://qurandansunnah.wordpress.com/
Mempelajari ajaran islam menurut qur'an dan sunnah, untuk menjadi muslim yang kaffah, klik disini:
http://qurandansunnah.wordpress.com/
http://qurandansunnah.wordpress.com/
Selasa, 20 Maret 2012
Liang kubur, awal perjalanan kita di Akhirat…
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وكفى والصلاة والسلام على نبيه المصطفى، أمابعدKhalifah kaum muslimin yang keempat Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu jika melihat perkuburan beliau menangis mengucurkan air mata hingga membasahi jenggotnya.
Suatu hari ada seorang yang bertanya:
تذكر الجنة والنار ولا تبكي وتبكي من هذا؟
“Tatkala mengingat surga dan neraka engkau tidak menangis, mengapa engkau menangis ketika melihat perkuburan?” Utsman pun menjawab, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن القبر أول منازل الآخرة فإن نجا منه فما بعده أيسر منه وإن لم ينج منه فما بعده أشد منه
“Sesungguhnya liang kubur adalah awal perjalanan akhirat. Jika seseorang selamat dari (siksaan)nya maka perjalanan selanjutnya akan lebih mudah. Namun jika ia tidak selamat dari (siksaan)nya maka (siksaan) selanjutnya akan lebih kejam.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata, “hasan gharib”. Syaikh al-Albani menghasankannya dalam Misykah al-Mashabih)
Bagaimanakah perjalanan seseorang jika ia telah masuk di alam kubur?
Hadits panjang al-Bara’ bin ‘Azib yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani menceritakan perjalanan para manusia di alam kuburnya:
Suatu hari kami mengantarkan jenazah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan Anshar. Sesampainya di perkuburan, liang lahad masih digali. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk (menanti) dan kami juga duduk terdiam di sekitarnya seakan-akan di atas kepala kami ada burung gagak yang hinggap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memainkan sepotong dahan di tangannya ke tanah, lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur!” Beliau ulangi perintah ini dua atau tiga kali.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya seorang yang beriman sudah tidak lagi menginginkan dunia dan telah mengharapkan akhirat (sakaratul maut), turunlah dari langit para malaikat yang bermuka cerah secerah sinar matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga lalu duduk di sekeliling mukmin tersebut sejauh mata memandang. Setelah itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan mengambil posisi di arah kepala mukmin tersebut. Malaikat pencabut nyawa itu berkata, ‘Wahai nyawa yang mulia keluarlah engkau untuk menjemput ampunan Allah dan keridhaan-Nya’. Maka nyawa itu (dengan mudahnya) keluar dari tubuh mukmin tersebut seperti lancarnya air yang mengalir dari mulut sebuah kendil. Lalu nyawa tersebut diambil oleh malaikat pencabut nyawa dan dalam sekejap mata diserahkan kepada para malaikat yang berwajah cerah tadi lalu dibungkus dengan kafan surga dan diberi wewangian darinya pula. Hingga terciumlah bau harum seharum wewangian yang paling harum di muka bumi.
Kemudian nyawa yang telah dikafani itu diangkat ke langit. Setiap melewati sekelompok malaikat di langit mereka bertanya, ‘Nyawa siapakah yang amat mulia itu?’ ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’, jawab para malaikat yang mengawalnya dengan menyebutkan namanya yang terbaik ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia mereka meminta izin untuk memasukinya, lalu diizinkan. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya. Hingga mereka sampai di langit ketujuh. Di sanalah Allah berfirman, ‘Tulislah nama hambaku ini di dalam kitab ‘Iliyyin. Lalu kembalikanlah ia ke (jasadnya di) bumi, karena darinyalah Aku ciptakan mereka (para manusia), dan kepadanyalah Aku akan kembalikan, serta darinyalah mereka akan Ku bangkitkan.’
Lalu nyawa tersebut dikembalikan ke jasadnya di dunia. Lantas datanglah dua orang malaikat yang memerintahkannya untuk duduk. Mereka berdua bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Rabbku adalah Allah’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’, ‘Agamaku Islam’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Beliau adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” jawabnya. ‘Dari mana engkau tahu?’ tanya mereka berdua. ‘Aku membaca Al-Qur’an lalu aku mengimaninya dan mempercayainya’. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit yang menyeru, ‘(Jawaban) hamba-Ku benar! Maka hamparkanlah surga baginya, berilah dia pakaian darinya lalu bukakanlah pintu ke arahnya’. Maka menghembuslah angin segar dan harumnya surga (memasuki kuburannya) lalu kuburannya diluaskan sepanjang mata memandang.
Saat itu datanglah seorang (pemuda asing) yang amat tampan memakai pakaian yang sangat indah dan berbau harum sekali, seraya berkata, ‘Bergembiralah, inilah hari yang telah dijanjikan dulu bagimu’. Mukmin tadi bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kebaikan’. ‘Aku adalah amal salehmu’ jawabnya. Si mukmin tadi pun berkata, ‘Wahai Rabbku (segerakanlah datangnya) hari kiamat, karena aku ingin bertemu dengan keluarga dan hartaku.
Adapun orang kafir, di saat dia dalam keadaan tidak mengharapkan akhirat dan masih menginginkan (keindahan) duniawi, turunlah dari langit malaikat yang bermuka hitam sambil membawa kain mori kasar. Lalu mereka duduk di sekelilingnya. Saat itu turunlah malaikat pencabut nyawa dan duduk di arah kepalanya seraya berkata, ‘Wahai nyawa yang hina keluarlah dan jemputlah kemurkaan dan kemarahan Allah!’. Maka nyawa orang kafir tadi ‘berlarian’ di sekujur tubuhnya. Maka malaikat pencabut nyawa tadi mencabut nyawa tersebut (dengan paksa), sebagaimana seseorang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Begitu nyawa tersebut sudah berada di tangan malaikat pencabut nyawa, sekejap mata diambil oleh para malaikat bermuka hitam yang ada di sekelilingnya, lalu nyawa tadi segera dibungkus dengan kain mori kasar. Tiba-tiba terciumlah bau busuk sebusuk bangkai yang paling busuk di muka bumi.
Lalu nyawa tadi dibawa ke langit. Setiap mereka melewati segerombolan malaikat mereka selalu ditanya, ‘Nyawa siapakah yang amat hina ini?’, ‘Ini adalah nyawa fulan bin fulan’ jawab mereka dengan namanya yang terburuk ketika di dunia. Sesampainya di langit dunia, mereka minta izin untuk memasukinya, namun tidak diizinkan. Rasulullah membaca firman Allah:
لا تفتح لهم أبواب السماء ولا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط
“Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga, sampai seandainya unta bisa memasuki lobang jarum sekalipun.” (QS. Al-A’raf: 40)Saat itu Allah berfirman, ‘Tulislah namanya di dalam Sijjin di bawah bumi’, Kemudian nyawa itu dicampakkan (dengan hina dina). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ta’ala:
وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيْحُ فِي مَكَانٍ سَحِيْقٍ
“Barang siapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 31)Kemudian nyawa tadi dikembalikan ke jasadnya, hingga datanglah dua orang malaikat yang mendudukannya seraya bertanya, ‘Siapakah rabbmu?’, ‘Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Mereka berdua kembali bertanya, ‘Apakah agamamu?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ sahutnya. Mereka berdua bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang telah diutus untuk kalian?’ “Hah hah… aku tidak tahu’ jawabnya. Saat itu terdengar seruan dari langit, ‘Hamba-Ku telah berdusta! Hamparkan neraka baginya dan bukakan pintu ke arahnya’. Maka hawa panas dan bau busuk neraka pun bertiup ke dalam kuburannya. Lalu kuburannya di ‘press’ (oleh Allah) hingga tulang belulangnya (pecah dan) menancap satu sama lainnya.
Tiba-tiba datanglah seorang yang bermuka amat buruk memakai pakaian kotor dan berbau sangat busuk, seraya berkata, ‘Aku datang membawa kabar buruk untukmu, hari ini adalah hari yang telah dijanjikan bagimu’. Orang kafir itu seraya bertanya, ‘Siapakah engkau? Wajahmu menandakan kesialan!’, ‘Aku adalah dosa-dosamu’ jawabnya. ‘Wahai Rabbku, janganlah engkau datangkan hari kiamat’ seru orang kafir tadi. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad(XXX/499-503) dan dishahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I/39) dan al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 156)
Itulah dua model kehidupan orang yang telah masuk liang kubur. Jika kita menginginkan untuk menjadi orang yang dibukakan baginya pintu ke surga dan diluaskan liang kuburnya seluas mata memandang maka mari kita berusaha untuk memperbanyak untuk beramal saleh di dunia ini.
Suatu amalan tidak akan dianggap saleh hingga memenuhi dua syarat:
- Ikhlas
- Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Di antara dalil syarat pertama adalah firman Allah ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)Di antara dalil syarat kedua adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.”(HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718))Allah menghimpun dua syarat ini dalam firman-Nya di akhir surat Al-Kahfi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)Maka mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beramal saleh. Semoga kelak kita mendapatkan kenikmatan di alam kubur serta dihindarkan dari siksaan di dalamnya, aamiin.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Tulisan ini terinspirasi dari kitab Majalis Al-Mu’minin Fi Mashalih Ad-Dun-Ya Wa Ad-Din Bi Ightinam Mawasim Rabb Al-’Alamin, karya Fu’ad bin Abdul Aziz asy-Syahlub (II/83-86)
Minggu, 11 Maret 2012
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah landasan tempat berdirinya Islam secara keseluruhan. Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam Islam atau untuk Islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki. Ini dikarenakan dalam kondisi seperti itu, orang tersebut kehilangan ruh-nya. Ma’rifat bukanlah mengenali dzat Allah karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifat yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifat (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’rifatullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah jika ia telah mengenali asma’ Allah, sifat Allah, dan af’al (perbuatan) Allah yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini. Bekal pengetahuan ini ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari seperti: sikap sidq (benar) dalam bermuamalah dengan Allah, ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah, pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah subhanahuwata’ala, sabar dan menerima pemberlakuan hukum dan aturan Allah atas diirnya, berdakwah dan mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya, membersihkan dakwahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektivitas siapapun dan hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliaulah orang yang paling utama dalam mengenali Allah subhanahuwata’ala. Beliau bersabda:
“Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. H.R Al Bukhari dan Muslim.
Hadist ini ini Beliau ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diir kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya setelah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yaitu ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Q.S Fathir :28)
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada disana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama mengatakan:”Dduuk disisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu: dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunis menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’, dari buruk hati menjadi nasehat.”
Ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu: tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat (sering disebut tauhid al ma’rifat wa al itsbat), dan tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.
Urgensi Ma’rifatullah
1. Allah adalah Tuhan semesta alam
“Katakanlah(Muhammad) ‘ siapakah Tuhan langit dan bumi?’ Katakanlah ‘Allah’. Katakanlah, ‘pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?’ katakanlah ,’samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat?’ atau samakah yang gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’ katakanlah ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa”. (QS Ar-Ra’d :16)
2. Mengetahui tujuan hidup
Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karen ama’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak).
“Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyaat:56)
3. Merasakan kehidupan yang tenang dan lapang
Ma’rifatullah juga merupakan asas (landasan) perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
“Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur.” (HR Muslim)
4. Selain itu, dari ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk memelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para nabi dan rasul lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah. Dari ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti malaikat, jin, dan ruh.
5. Dari ma’rifat inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzaniyyah (alam kubur) dan kehidupan akhirat.
Sarana ma’rifatullah
1. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Allah berfirman:
”Perhatikanlah apa yang ada dibumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus:101)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:”Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karenakamu tidak akan mampu.” (HR Abu Nu’aim)
2. Para Rasul
Para rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Kamitelah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya menausi dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al Hadid:25)
3. Asmaul Husna dan Sifat Allah
Mengenalli asma dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk mengenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk dapat mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Allah berfirman:
“Katakanlah: serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik).” (QS Al-Isra:110).
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS Al-A’raf:180)
4. Fenomena Alam (Alam semesta)
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) dilangit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.” (QS. Yusuf:105)
5. Al-Qur’an
“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabut:49)
6. Mu’jizat
“Dan rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu” (QS. Ali Imran:101)
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu benda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata:’ (Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (QS. Al-Qamar:1-2)
Faktor Penghalang Ma’rifatullah
1. Menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsilmengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.
2. Menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allahta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!
3. Menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?!
Membebaskan diri untuk Menuju Ma’rifatullah
1. Bebaskan Diri dari Kesombongan
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat KAmi dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raaf: 146)
2. Bebaskna Diri dari Kedzaliman dan Dusta
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Ash-Shaf:7)
“sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS Az-Zumar:3)
3. Bebaskan Diri dari Tindakan Merusak di Muka Bumi, Melanggar Perjanjian dan Memutuskan Hubungan yang Seharusnya Disambung
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Baqarah:26-27)
4. Bebaskan Diri dari Kelalaian
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS Muhammad:36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang –orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:190-191)
5. Bebaskan Diri dari Perbuatan Dosa
“Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) kedalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir), mereka tidak beriman kepadanya (Alquran) dan sesungguhnya telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Hijr:12-13)
6. Bebaskan Diri dari Keraguan dalam Menerima Kebenaran , Saat Melihatnya dengan Amat Jelas
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Alquran) pada permulaannya, dan Kami biarkanmereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Qs. Al-An’am:110)
Pandangan orang-Orang Kafir Terhadap Jalan Ini
Banyak orang baik pada masa lalu maupun pada masa kini, yang mengingkari wujud Allah, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat merasakan keberadaan-Nya dengan indera mereka. Mereka berpendapat bahwa jalan untuk mengetahui segala sesuatu adalah indera itu. Karena itu, mereka menuduh orang yang beriman kepada Allah sebagai pengkhayal, sesat, pembuat klenik, sakit jiwa, tidak ilmiah, dan tuduh-tuduhan lainnya yang dialamatkan oleh orang-orang kafir terhadap kaum beriman. Dengan alasan, orang-orang yang beriman itu mengimani wujud Allah bukan dengan jalan inderawi.
Mereka yang berkata bahwa mereka hanya mengimani apa yang dapat ditangkap oleh indera mereka, terbantah sendiri oleh realitas material tempat mereka hidup. Misalnya, mereka mengimani adanya kekuatan gravitasi dan hukumnya meskipun mereka tidak melihat keberadaannya secara inderawi. Mereka mengimani keberadaan rasio meskipun mereka tidak dapat melihat wujudnya.
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah landasan tempat berdirinya Islam secara keseluruhan. Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah dalam Islam atau untuk Islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki. Ini dikarenakan dalam kondisi seperti itu, orang tersebut kehilangan ruh-nya. Ma’rifat bukanlah mengenali dzat Allah karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifat yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifat (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya. Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’rifatullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah jika ia telah mengenali asma’ Allah, sifat Allah, dan af’al (perbuatan) Allah yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini. Bekal pengetahuan ini ditunjukkan dalam kehidupannya sehari-hari seperti: sikap sidq (benar) dalam bermuamalah dengan Allah, ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah, pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah subhanahuwata’ala, sabar dan menerima pemberlakuan hukum dan aturan Allah atas diirnya, berdakwah dan mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya, membersihkan dakwahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektivitas siapapun dan hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Beliaulah orang yang paling utama dalam mengenali Allah subhanahuwata’ala. Beliau bersabda:
“Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. H.R Al Bukhari dan Muslim.
Hadist ini ini Beliau ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diir kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan berikutnya setelah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yaitu ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (Q.S Fathir :28)
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada disana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama mengatakan:”Dduuk disisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu: dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunis menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’, dari buruk hati menjadi nasehat.”
Ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu: tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat (sering disebut tauhid al ma’rifat wa al itsbat), dan tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.
Urgensi Ma’rifatullah
1. Allah adalah Tuhan semesta alam
“Katakanlah(Muhammad) ‘ siapakah Tuhan langit dan bumi?’ Katakanlah ‘Allah’. Katakanlah, ‘pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?’ katakanlah ,’samakah orang yang buta dengan yang dapat melihat?’ atau samakah yang gelap dengan yang terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan mereka?’ katakanlah ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia Tuhan Yang Maha Esa”. (QS Ar-Ra’d :16)
2. Mengetahui tujuan hidup
Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karen ama’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak).
“Allah tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Az-Zariyaat:56)
3. Merasakan kehidupan yang tenang dan lapang
Ma’rifatullah juga merupakan asas (landasan) perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam:
“Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur.” (HR Muslim)
4. Selain itu, dari ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk memelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para nabi dan rasul lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah. Dari ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti malaikat, jin, dan ruh.
5. Dari ma’rifat inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzaniyyah (alam kubur) dan kehidupan akhirat.
Sarana ma’rifatullah
1. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Allah berfirman:
”Perhatikanlah apa yang ada dibumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus:101)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:”Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karenakamu tidak akan mampu.” (HR Abu Nu’aim)
2. Para Rasul
Para rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya Kamitelah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya menausi dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al Hadid:25)
3. Asmaul Husna dan Sifat Allah
Mengenalli asma dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk mengenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk dapat mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Allah berfirman:
“Katakanlah: serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik).” (QS Al-Isra:110).
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” (QS Al-A’raf:180)
4. Fenomena Alam (Alam semesta)
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) dilangit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari padanya.” (QS. Yusuf:105)
5. Al-Qur’an
“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata didalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabut:49)
6. Mu’jizat
“Dan rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu” (QS. Ali Imran:101)
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah bulan dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu benda (mu’jizat), mereka berpaling dan berkata:’ (Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (QS. Al-Qamar:1-2)
Faktor Penghalang Ma’rifatullah
1. Menyerupakan (menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsilmengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.
2. Menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib (keinginan untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allahta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!
3. Menetapkan suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?!
Membebaskan diri untuk Menuju Ma’rifatullah
1. Bebaskan Diri dari Kesombongan
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat KAmi dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raaf: 146)
2. Bebaskna Diri dari Kedzaliman dan Dusta
“Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Ash-Shaf:7)
“sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS Az-Zumar:3)
3. Bebaskan Diri dari Tindakan Merusak di Muka Bumi, Melanggar Perjanjian dan Memutuskan Hubungan yang Seharusnya Disambung
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al-Baqarah:26-27)
4. Bebaskan Diri dari Kelalaian
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS Muhammad:36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang –orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:190-191)
5. Bebaskan Diri dari Perbuatan Dosa
“Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu) kedalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir), mereka tidak beriman kepadanya (Alquran) dan sesungguhnya telah berlalu sunnatullah terhadap orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Hijr:12-13)
6. Bebaskan Diri dari Keraguan dalam Menerima Kebenaran , Saat Melihatnya dengan Amat Jelas
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Alquran) pada permulaannya, dan Kami biarkanmereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Qs. Al-An’am:110)
Pandangan orang-Orang Kafir Terhadap Jalan Ini
Banyak orang baik pada masa lalu maupun pada masa kini, yang mengingkari wujud Allah, dengan alasan bahwa mereka tidak dapat merasakan keberadaan-Nya dengan indera mereka. Mereka berpendapat bahwa jalan untuk mengetahui segala sesuatu adalah indera itu. Karena itu, mereka menuduh orang yang beriman kepada Allah sebagai pengkhayal, sesat, pembuat klenik, sakit jiwa, tidak ilmiah, dan tuduh-tuduhan lainnya yang dialamatkan oleh orang-orang kafir terhadap kaum beriman. Dengan alasan, orang-orang yang beriman itu mengimani wujud Allah bukan dengan jalan inderawi.
Mereka yang berkata bahwa mereka hanya mengimani apa yang dapat ditangkap oleh indera mereka, terbantah sendiri oleh realitas material tempat mereka hidup. Misalnya, mereka mengimani adanya kekuatan gravitasi dan hukumnya meskipun mereka tidak melihat keberadaannya secara inderawi. Mereka mengimani keberadaan rasio meskipun mereka tidak dapat melihat wujudnya.
Langganan:
Postingan (Atom)